Thursday, March 19, 2009

Solusi utang masih gali lubang tutup lubang

oleh : Aprilian Hermawan

Selain menyeret perekonomian negara-negara lain ke dalam perlambatan pertumbuhan, krisis keuangan global yang bermuara dari Amerika Serikat kembali membuka dan menambah persoalan lama, yaitu risiko gagal bayar utang.

Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, yang masih mengandalkan utang sebagai instrumen pembiayaan pembangunan seakan rapuh dalam menghadapi masa paceklik likuiditas ini.

Indikasi gagal bayar yang mulai terdengar itu semakin memperjelas Tanah Air sudah masuk dalam perangkap utang.

Panitia Anggaran DPR bahkan kemarin menyerukan perlunya pemerintah menjadwalkan kembali utang mengingat adanya risiko penyempitan pembiayaan fiskal APBN periode 2010-2014. Keterbatasan pembiayaan fiskal ini harus direspons pemerintah melalui penjadwalan utang.

Imbauan tersebut berselang hanya beberapa hari setelah pemerintah mengingatkan ada risiko gagal bayar atas utang swasta akibat imbas dari terpuruknya kreditur global. Kendati Bank Indonesia meyakini posisi jatuh tempo utang luar negeri swasta masih aman, gagasan pembahasan risiko perpanjangan utang ini menjadi salah satu agenda untuk dibawa dalam konferensi tingkat tinggi para kepala negara di forum G-20 yang akan digelar di London, Inggris, pada April mendatang.

Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebutkan risiko kesulitan perpanjangan utang untuk sektor swasta di negara emerging market, termasuk Indonesia, kian bertambah.

Kenaikan risiko ini diakibatkan ketidakmampuan perbankan di AS dan Eropa dalam menggulirkan kredit. Padahal, pinjaman baru itu biasanya dipakai swasta untuk membayar utang jatuh tempo.

Menurut Menkeu, sejauh ini Bank Dunia sudah menyiapkan skema pembiayaan yang dikhususkan pada risiko perpanjangan utang swasta ini karena kondisi ini pada akhirnya berpotensi menggerus cadangan devisa. Secara teknis, usulan ini akan dibahas lebih lanjut di G-20.

Bank multilateral tersebut telah menyediakan fasilitas berbentuk Deferred Drawdown Option atau pinjaman siaga kepada sektor swasta yang membutuhkan pendanaan atas utang jatuh tempo. Akan tetapi, Bank Dunia menghendaki keterlibatan pemerintah sebagai penerus pinjaman sekaligus penjamin utang tersebut.

Upaya pemerintah untuk menjembatani restrukturisasi utang swasta ini mengingatkan langkah serupa yang pernah dilakukan saat krisis lebih dari satu dekade lalu.

Pada 3 Agustus 1998, pemerintah membentuk Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA), lembaga restrukturisasi atas utang swasta yang dilanjutkan dengan pendirian Jakarta Initiative (Prakarsa Jakarta) pada 9 September 1998.

INDRA bertugas menyelesaikan utang swasta bagi kreditur asing dalam kurun waktu 8 tahun, sedangkan Jakarta Initiative bertujuan menjembatani utang swasta yang fokus kepada kreditur domestik. Kedua lembaga itu berada di bawah kendali Tim Penanggulangan Masalah Utang Luar Negeri Swasta yang diketuai oleh mantan Menko Ekuin Radius Prawiro.

Kreditor bersedia memberi penundaan pembayaran cicilan utang pokok dan bunga yang jatuh tempo, harus tergabung dalam organisasi yang bernama London Club. Skema penyelesaian utang ini mengikuti format Paris Club, kelompok kreditur untuk penyelesaian utang pemerintah, yang mempersyaratkan implementasi program IMF. Hubungan RI-IMF berjalan yang ditandai kesepakatan Letter of Intent I sampai dengan IV sejak 1997 sampai 2003.

Akan tetapi, setelah Indonesia keluar dari program IMF pada Agustus 2003 dan memilih bentuk pengawasan Post Program Monitoring, Indonesia tidak dapat lagi melakukan restrukturisasi utang melalui Paris Club dan London Club.

Pertanyaan selanjutnya, mekanisme apa yang bisa dilakukan Jakarta agar bisa melakukan reschedulling utang luar negeri pemerintah ataupun swasta setelah otoritas memutuskan untuk tidak lagi berada pada program IMF?

Boleh jadi pemerintah dapat meyakinkan para kreditur untuk membentuk forum serupa Paris Club atau London Club, akan tetapi lembaga mana yang akan melakukan pengawasan dan apakah pemerintahan selanjutnya mau menjalankan monitoring?

Agaknya kondisi ini yang perlu dijelaskan pemerintah karena terlalu besar risiko politik yang harus ditanggung jika harus kembali masuk ke dalam program IMF atau memaksa sebuah keputusan strategis menjelang pemilu.

Sejauh ini, opsi yang masih dilakukan pemerintah adalah melakukan gali lubang tutup lubang melalui sumber pembiayaan lain. Namun, sumber lain pembiayaan selama ini, yaitu melalui penerbitan obligasi dan privatisasi tidak leluasa dilakukan. (aprilian.hermawan@bisnis.co.id)

1 comment: