Sunday, March 29, 2009

Teringat teori obat nyamuk

Posted on Sabtu 21 Maret 2009

Jago seluler itu menyebutnya dengan istilah ‘teori obat nyamuk’. Di lain kesempatan, dengan entengnya petinggi telekomunikasi tadi mengganti istilah dengan sebutan lain lagi, yaitu ‘teori desa menyerbu kota’.

Dia getol sekali menyoal dua teori ciptaannya itu ketika Indonesia baru bersentuhan dengan teknologi telepon seluler berbasis GSM.

Setelah menjalani masa uji coba di Batam sekitar 1995, sarana telekomunikasi nirkabel itu mulai bisa dinikmati sebagian orang di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.

Untuk sementara, operator hanya dibatasi dua perusahaan, Telkomsel dan Satelindo. Entah aturan dari mana, Satelindo-yang sempat dimiliki Bambang Trihatmodjo, putra mendiang mantan Presiden Soeharto-langsung mengawali ‘kring’ di Jakarta.

Sementara itu, Telkomsel, yang lahir lebih dulu, diminta ‘mengalah’ kepada ‘adiknya’. Sebagai ‘kakak’, ia harus ‘merantau’ dulu ke daerah, membangun infrastruktur di luar Jawa untuk melayani GSM minimal di ibu kota provinsi.

Tak pelak, aturan tidak tertulis itu membuat kawan tadi bete berat. Itu pula sebabnya GSM pun kerap pula dia pelesetkan sebagai singkatan namanya.

Namun, dia cukup piawai untuk menutup kekesalannya. Bila ditanya pers soal perlakuan itu, eksekutif tersebut paling hanya berkomentar pihaknya sedang menerapkan ‘teori obat nyamuk’.

Menjalar ke pusat

Tidak salah juga disebut demikian. Obat nyamuk menyala di ujung lingkaran luar (daerah) dan kemudian habis terbakar sampai ke pusatnya (Jakarta).

Di lain waktu, dia melontarkan guyonan baru, ‘desa menyerbu kota’. Saya dan sejumlah teman kontan tertawa mendengar kata-kata yang agak menyeramkan dan kental dengan nuansa politik itu.

Pasalnya, teori tersebut mengingatkan orang pada taktik perjuangan dan ideologi Khmer Merah di Kamboja, sebuah periode yang penuh tragedi bagi negara tersebut.

Entah ada angin apa, ‘teori obat nyamuk’ dan ‘desa menyerbu kota’ yang memiliki kesamaan esensi itu tiba-tiba ternngiang-ngiang lagi di telinga saya pada musim kampanye kali ini.

Cukup surprise kampanye terbuka tahun ini, sejak bendera start dibesut 16 Maret lalu, terkesan adem ayem saja.

Rasanya baru kemarin Ibu kota sedikit macet ketika massa Partai Demokrat menyemut di kawasan Senayan dan Partai Keadilan Sejahtera di bilangan Blok S, Kebayoran Baru.

Pemandangan ini sangat berbeda dengan pemilu 5 tahun lalu yang tampak begitu colourful.

Dengan jumlah partai politik peserta pemilu yang mencapai 44 buah, saya membayangkan kampanye terbuka kali ini tidak kalah heboh dibandingkan dengan pesta demokrasi 2004, yang mengantarkan pasangan Yudhoyono-Kalla ke puncak kekuasaan.

Namun sampai hari ini keramaian sebuah ‘pesta’ tidak terlihat terlalu mencolok. Hati pun bertanya, apakah para politisi yang berlaga menuju Senayan dan Istana sedang menerapkan teori yang pernah dianut kawan lama saya tadi?

Bisa jadi demikian. Sebagai bagian dari taktik ‘perjuangan’, menutup masa kampanye di Jakarta dengan kisah sukses merupakan sebuah modal tersendiri bagi politisi.

Pemandangan ini berbeda sekali dengan move politik dari para tokoh yang ingin meraih jabatan RI-1.

Jurus dan strategi mereka dalam merangkul mitra koalisi jauh lebih diburu sebagai berita daripada arak-arakan massa partai menuju lokasi kampanye ataupun janji politik yang dilontarkan caleg.

Bersyukurlah kita bila kesadaran dan kedewasaan politik para calon pemilih kali ini lebih baik dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Kampanye tidak serta-merta dipandang sebagai sebuah karnaval yang berisi kehebohan, tetapi lebih sebagai momentum untuk me-review kembali secara cermat kontrak politik dan pilihan-pilihan untuk setidaknya hingga 5 tahun mendatang. (inria.zulfikar@bisnis.co.id)

Oleh Inria Zulfikar
Wartawan Bisnis Indonesia

No comments:

Post a Comment